Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat Belanda yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU Kepailitan.
Hukum perdata di Indonesia pada dasarnya bersumber pada Hukum Napoleon kemudian bedasarkan Staatsblaad nomor 23 tahun 1847 tentang burgerlijk wetboek voor Indonesie atau biasa disingkat sebagai BW/KUHPer. BW/KUHPer sebenarnya merupakan suatu aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda yang ditujukan bagi kaum golongan warganegara bukan asli yaitu dari Eropa, Tionghoa dan juga timur asing. Namun demikian berdasarkan kepada pasal 2 aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945, seluruh peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia-Belanda berlaku bagi warga negara Indonesia(azas konkordasi). Beberapa ketentuan yang terdapat didalam BW pada saat ini telah diatur secara terpisah/tersendiri oleh berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya berkaitan tentang tanah, hak tanggungan dan fidusia.
1. Buku pertama mengatur tentang orang sebagai subyek hukum, hukum perkawinan dan hukum keluarga, termasuk waris.
• Bab I - Tentang menikmati dan kehilangan hak-hak kewargaan
• Bab II - Tentang akta-akta catatan sipil
• Bab III - Tentang tempat tinggal atau domisili
• Bab IV - Tentang perkawinan
• Bab V - Tentang hak dan kewajiban suami-istri
• Bab VI - Tentang harta-bersama menurut undang-undang dan pengurusannya
• Bab VII - Tentang perjanjian kawin
• Bab VIII - Tentang gabungan harta-bersama atau perjanjian kawin pada perkawinan kedua atau selanjutnya
• Bab IX - Tentang pemisahan harta-benda
• Bab X - Tentang pembubaran perkawinan
• Bab XI - Tentang pisah meja dan ranjang
• Bab XII - Tentang keayahan dan asal keturunan anak-anak
• Bab XIII - Tentang kekeluargaan sedarah dan semenda
• Bab XIV - Tentang kekuasaan orang tua
• Bab XIVA - Tentang penentuan, perubaran dan pencabutan tunjangan nafkah
• Bab XV - Tentang kebelumdewasaan dan perwalian
• Bab XVI - Tentang pendewasaan
• Bab XVII - Tentang pengampuan
• Bab XVIII - Tentang ketidakhadiran
Buku kedua mengatur mengenai benda sebagai obyek hak manusia dan juga mengenai hak kebendaan. Benda dalam pengertian yang meluas merupakan segala sesuatu yang dapat dihaki (dimiliki) oleh seseorang. Sedangkan maksud dari hak kebendaan adalah suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda yang dapat dipertahankan kepada pihak ketiga. Buku kedua tentang benda pada saat ini telah banyak berkurang, yaitu dengan telah diaturnya secara terpisah hal-hal yang berkaitan dengan benda (misal dengan Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, Undang-undang N0. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan . Dalam hal telah diatur secara terpisah oleh suatu peraturan perundang-undangan maka dianggap pengaturan mengenai benda didalam BW dianggap tidak berlaku.
• Bab I - Tentang barang dan pembagiannya
• Bab II - Tentang besit dan hak-hak yang timbul karenanya
• Bab III - Tentang hak milik
• Bab IV - Tentang hak dan kewajiban antara para pemilik pekarangan yang bertetangga
• Bab V - Tentang kerja rodi
• Bab VI - Tentang pengabdian pekarangan
• Bab VII - Tentang hak numpang karang
• Bab VIII - Tentang hak guna usaha (erfpacht)
• Bab IX - Tentang bunga tanah dan sepersepuluhan
• Bab X - Tentang hak pakai hasil
• Bab XI - Tentang hak pakai dan hak mendiami
• Bab XII - Tentang pewarisan karena kematian
• Bab XIII - Tentang surat wasiat
• Bab XIV - Tentang pelaksana surat wasiat dan pengelola harta peninggalan
• Bab XV - Tentang hak berpikir dan hak istimewa untuk merinci harta peninggalan
• Bab XVI - Tentang hal menerima dan menolak warisan
• Bab XVII - Tentang pemisahan harta peninggalan
• Bab XVIII - Tentang harta peninggalan yang tak terurus
• Bab XIX - Tentang piutang dengan hak didahulukan
• Bab XX - Tentang gadai
• Bab XXI - Tentang hipotek
Buku ketiga bersifat tambahan (aanvulend recht), atau sering juga disebut sifat terbuka, sehingga terhadap beberapa ketentuan, apabila disepekati secara bersama oleh para pihak maka mereka dapat mengatur secara berbeda dibandingkan apa yang diatur didalam BW. Sampai saat ini tidak terdapat suatu kesepakatan bersama mengenai aturan mana saja yang dapat disimpangi dan aturan mana yang tidak dapat disimpangi. Namun demikian, secara logis yang dapat disimpangi adalah aturan-aturan yang mengatur secara khusus (misal : waktu pengalihan barang dalam jual-beli, eksekusi terlebih dahulu harga penjamin ketimbang harta si berhutang). Sedangkan aturan umum tidak dapat disimpangi (misal : syarat sahnya perjanjian, syarat pembatalan perjanjian).
• Bab I - Tentang perikatan pada umumnya
• Bab II - Tentang perikatan yang lahir dari kontrak atau persetujuan
• Bab III - Tentang perikatan yang lahir karena undang-undang
• Bab IV - Tentang hapusnya perikatan
• Bab V - Tentang jual-beli
• Bab VI - Tentang tukar-menukar
• Bab VII - Tentang sewa-menyewa
• Bab VIIA - Tentang perjanjian kerja
• Bab VIII - Tentang perseroan perdata (persekutuan perdata)
• Bab IX - Tentang badan hukum
• Bab X - Tentang penghibahan
• Bab XI - Tentang penitipan barang
• Bab XII - Tentang pinjam-pakai
• Bab XIII - Tentang pinjam pakai habis (verbruiklening)
• Bab XIV - Tentang bunga tetap atau bunga abadi
• Bab XV - Tentang persetujuan untung-untungan
• Bab XVI - Tentang pemberian kuasa
• Bab XVII - Tentang penanggung
• Bab XVIII - Tentang perdamaian
2. Buku keempat mengatur tentang pembuktian dan daluwarsa. Hukum tentang pembuktian tidak saja diatur dalam hukum acara (Herzine Indonesisch Reglement / HIR) namun juga diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Didalam buku keempat ini diatur mengenai prinsip umum tentang pembuktian dan juga mengenai alat-alat bukti. Dikenal adanya 5 macam alat bukti yaitu :
• a. Surat-surat
• b. Kesaksian
• c. Persangkaan
• d. Pengakuan
• e. Sumpah
Daluwarsa (lewat waktu) berkaitan dengan adanya jangka waktu tertentu yang dapat mengakibatkan seseorang mendapatkan suatu hak milik (acquisitive verjaring) atau juga karena lewat waktu menyebabkan seseorang dibebaskan dari suatu penagihan atau tuntutan hukum (inquisitive verjaring). Selain itu diatur juga hal-hal mengenai “pelepasan hak” atau “rechtsverwerking” yaitu hilangnya hak bukan karena lewatnya waktu tetapi karena sikap atau tindakan seseorang yang menunjukan bahwa ia sudah tidak akan mempergunakan suatu hak.
• Bab I - Tentang pembuktian pada umumnya
• Bab II - Tentang pembuktian dengan tulisan
• Bab III - Tentang pembuktian dengan saksi-saksi
• Bab IV - Tentang persangkaan
• Bab V - Tentang pengakuan
• Bab VI - Tentang sumpah di hadapan hakim
• Bab VII - Tentang kedaluwarsa pada umumnya
Sumber :
http://id.wikisource.org/wiki/Kitab_Undang-Undang_Hukum_Perdata
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_perdata
No comments:
Post a Comment