Monday, February 14, 2011

“Persoalannya tak hanya Gayus. Gayus hanya snowball
untuk membuka banyak hal mengenai mafia pajak…”
-Pramono Anung-
Gayus lagi, Gayus lagi. Gayus melulu! Baca koran, topiknya Gayus. Lihat program berita di TV, bahasannya Gayus…bahkan sudah ganti channel pun, masih tetap tentang Gayus. Luar biasa memang makhluk yang satu itu. Lulusan STAN ternyata bisa jadi selebriti. Ckckck…
Ada apa di balik Gayus?
Konon, Gayus dianggap sebagai whistle blower yang dapat membongkar gunungan kasus seputar kejahatan di bidang perpajakan. Dari mulut Gayus, muncul nama-nama perusahaan besar yang menjadi jawaban darimana angka fantastis di rekeningnya berasal. Kasus Gayus menyeret banyak nama, melibatkan banyak pihak, mengungkit bermilyar-milyar dana.
Perkara Gayus pun menimbulkan efek yang luas di masyarakat. Gayus bukan hanya menjadi trending topic pembicaraan dalam pergaulan sehari-hari. Siapapun punya pendapat tersendiri mengenai kasus Gayus. Facebookers beramai-ramai mencoba aplikasi permainan ‘menampar Gayus’. Para kawula muda kreatif merekayasa foto-foto Gayus dalam beragam pose. Bahkan, Gayus dijadikan inspirasi dalam menciptakan sebuah lagu. Apa yang terjadi kini menggambarkan efek dari pemberitaan di media..
Maka, ada apa di balik Gayus? Ada media yang membesarkan namanya, yang menggembar-gemborkan kasusnya.
Kasus Gayus dikategorikan sebagai extra ordinary case, yang membuatnya mendapat sorotan lebih dibanding kasus-kasus lain yang ada. Namun, apabila kasus Gayus hanya dipandang dari sisi praktek korupsi yang dilakukannya, dan lebih khusus lagi: permasalahan mafia pajak, nyatnya kasus mafia pajak bukanlah kasus yang benar-benar baru mengemuka pasca Gayus.
Majalah Tempo pernah mengungkap laporan investigasi kasus dugaan penggelapan pajak Asian Agri yang disebut-sebut sebagai ‘terbesar’ dalam sejarah Republik Indonesia karena melibatkan 1,3 triliun.
Data-data yang diungkapkan Tempo berasal dari narasumber yang bernama Vincentius Amin Sutanto, mantan financial controller Asian Agri yang dipecat dan dinyatakan buron karena menggelapkan dana perusahaan sebesar 28 miliar rupiah.Sang buron kabur ke Singapura dan berusaha memohon damai kepada petinggi-petinggi di Asian Agri. Jalan ancaman akhirnya ditempuh olehnya. Vincent hendak membeberkan skandal keuangan perusahaan di bidang perpajakan, yang tentu jauh lebih besar dibanding skandal keuangan yang dilakukannya. Vincent menghubungi segenap media cetak, namun hanya Tempo yang menggubrisnya. Akhirnya, pengungkapan kasus penggelapan pajak di perusahaan produsen CPO tersebut beredar di majalah Tempo edisi Januari hingga Agustus 2007.
Meski merupakan kasus besar, tak banyak media yang ikut mengangkatnya. Bahkan terdapat media yang sama sekali tidak mengungkit kasus tersebut. Kalaupun terdapat pemberitaan, yang diangkat hanyalah efek-efek samping peliputan Tempo atas kasus tersebut: tindakan wartawan Tempo yang dianggap membantu buronan; hasil sadapan sms wartawan Tempo agar membantu Vincent membiayai pembicara; Pengaduan Asian Agri kepada Dewan Pers mengenai pemberitaan di Tempo; Pengajuan gugatan perdata Asian Agri, dll. Tidak pernah ada pembahasan yang betul-betul mengungkapkan kasus penggelapan pajak di tubuh Asian Agri dan menelusuri oknum-oknum yang terlibat di dalamnya. Maklum, kasus Asian Agri tersebut terkait Sukanto Tanoto, orang terkaya sejagad Indonesia versi majalah Forbes tahun 2006. Asian Agri adalah salah satu perusahaan miliknya, disamping perusahaan lain dalam Grup Raja Garuda Mas.
Efek-efek samping dari kasus penggelapan pajak itulah yang kini juga ramai diberitakan. Bagaimanapun, ‘Gayus’ bukanlah inti dari sebuah kasus besar dari korupsi di bidang perpajakan Republik Indonesia. Media begitu fokus meliput kemiripan fotonya dengan sosok penonton pertandingan tenis di Bali; plesirannya ke Singapura, Thailand, Hongkong dan Makau; kepemilikan pasport atas nama ‘Sony Laksono’, dan pasport berkewarganegaraan Guyana yang diduga milik Gayus dan istri. Semua pemberitaan yang mendominasi, hampir tidak pernah menyentuh permasalahan sesungguhnya. Bisa dibilang, belum ada wartawan yang mencoba praktek jurnalisme investigasi untuk mengungkap kasus pengemplangan pajak di PT. Surya Alam Tunggal, atau 151 perusahaan lain yang ditangani Gayus.
Kedahsyatan efek media belum sepenuhnya dapat memudahkan pemberantasan kasus korupsi. Pemberitaan kasus korupsi baru mampu menjadi euforia belaka bagi para penikmat media. Menciptakan efek kesenangan sesaat dalam mengkonsumsi pemberitaan kasus korupsi, namun tak coba mengingatkan mengenai substansi. Topik yang terkait kasus korupsi diumbar sampai publik kenyang menyaksikannya. Ditengah kejengahan atas apa yang diberitakan media, khalayak dibuat bingung mengenai apa yang sesungguhnya terjadi, dan pelajaran apa yang seharusnya dapat dipetik. Fungsi media dalam pemberantasan korupsi belum teraplikasikan secara efektif.
Seyogyanya media dapat membantu terciptanya ‘efek jera’ bagi para koruptor dan tumbuhnya moral anti korupsi bagi masyarakat. Namun, alih-alih memperlancar proses pemberantasan korupsi di negeri ini, secara tidak langsung media malah menciptakan masyarakat yang bercita-cita menjadi Gayus. Dengarlah para penikmat media yang ramai-ramai bernyanyi setelah menyimak pemberitaan mengenai lagu ciptaan Bona Paputungan: “Andai ku Gayus Tambunan…yang bisa pergi ke Bali…Semua keinginannya pasti bisa terpenuhi…

sumber : http://ulya.blogsidak.com/2011/01/31/sekadar-efek-samping/

Tugas Softskill I (Sejarah Perekonomian Indonesia Periode Tahun 1955-1965)

Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
a)Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
b)Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
c)Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1.  Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salahsatu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain.

Sumber : onlinebuku.com/2009/03/06/sejarah-perekonomian-indonesia/