Tuesday, October 16, 2012

Penalaran Deduktif

   Dalam tulisan sebelumnya saya telah membahas tentang penalaran induktif, generalisasi dan analogi induktif. sekarang, dalam tulisan ini saya akan membahas tentang penalaran deduktif, generalisasi dan analogi deduktif. Seperti yang pernah saya jelaskan sebelumnya dalam tulisan saya, penalaran merupakan proses berfikir yang sistematik untuk memperoleh kesimpulan berupa pengetahuan. Penalaran terdiri dari penalaran induktif dan penalaran deduktif, jika sebelumnya penalaran induktif pernah saya jelaskan maka kali ini saya akan menjelaskan penalaran deduktif.

Penalaran Deduktif
    Penalaran deduktif didasarkan atas prinsip, hukum, teori atau putusan lain yang berlaku umum untuk suatu hal atau pun gejala. Berdasarkan atas prinsip umum tersebut ditarik kesimpulan tentang sesuatu yang khusus yang merupakan bagian dari hal atau gejala di atas. Dengan kata lain, penalaran deduktif bergerak dari sesuatu yang umum kepada yang khusus.


Diagram diatas adalah diagram Euler.
Gambar I,     menunjukkan bahwa S identik dengan P
        S = P; contoh : Semua manusia adalah makhluk hidup.
Gambar II,    S tidak berhubungan dengan P
        Tidak ada S yang P; contoh: Tidak ada cacing yang bernafas dengan paru-paru.
Gambar III,    S adalah sebagian dari P
        Semua S adalah P. contoh: Semua kerbau adalah binatang.
Gambar IV,    Sebagian S adalah P. Beberapa S = P
        Contoh: Beberapa manusia jenius.
    Jika kita mengetahui sifat umum S, sedangkan P adalah bagian dari S, maka kita menarik kesimpulan tentang P. Kalau kita tahu bahwa semua mahasiswa harus membayar SPP dan Obet adalah manusia, maka Obet pun harus membayar SPP.
    Pada contoh diatas pengetahuan tentang kewajiban mahasiswa merupakan dasar untuk menarik kesimpulan tentang kewajiban seorang mahasiswa. Dasar penarikan kesimpulan itu di dalam penalaran disebut premis. Di dalam penalaran deduktif, berdasarkan atas premis itu ditarik kesimpulan yang sifatnya lebih khusus. Dengan demikian, sebenarnya, penarikan kesimpulan secara deduktif itu secara tersirat sudah tercantum di dalam premisnya. Sifat itu membedakan penalaran deduktif dari penalaran induktif, yang kesimpulannya tidak tercantum di dalam premisnya. Dari sifat diatas, dapat dipahami di dalam penalaran deduktif suatu kesimpulan akan benar atau sah jika premisnya benar dan cara penarikan kesimpulan sah. Di dalam penalaran induktif, kita tidak dapat menentukan kebenaran atau kesahan kesimpulan dengan cara demikian.
    Menurut bentuknya, penalaran deduktif terdiri dari silogisme dan entimen. Tapi, sebelum kita masuk kesana, kita harus mengetahui dua istilah di dalamnya yaitu premis dan proposisi. Premis adalah pernyataan yang digunakan sebagai dasar penarikan kesimpulan. Sedangkan proposisi adalah kalimat logika yang merupakan pernyataan tentang hubungan antara dua atau beberapa hal yang dapat dinilai benar atau salah. Berikut ini akan saya jelaskan tentang silogisme dan entimen.

1.    Silogisme
Silogisme merupakan suatu cara penalaran yang formal. Penalaran dalam bentuk ini jarang ditemukan atau dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kita lebih sering mengikuti polanya saja, meskipun kadang-kadang secara tidak sadar. Misalnya ucapan “Ia dihukum karena melanggar peraturan “X”, sebenarnya dapat dikembalikan ke dalam bentuk formal berikut:
Contoh:
a.    Barang siapa yang melanggar peraturan “X” harus dihukum. (premis mayor, My)
b.    Ia melanggar peraturan “X”. (premis minor, Mn)
c.    Ia harus dihukum. (simpulan, K)

2.    Entimen
Sebelumnya telah disinggung bahwa silogisme jarang sekali dikemukakan di dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam tulisan pun, bentuk itu hampir tidak pernah digunakan.
    Bentuk yang biasa ditemukan dan dipakai ialah bentuk entimen. Entimen ini pada dasarnya adalah silogisme. Tetapi, di dalam entimen salah satu premisnya dihilangkan atau tidak diucapkan karena sudah sama-sama diketahui.
Contoh:
Menipu adalah dosa karena merugikan orang lain.
Kalimat di atas dapat dipenggal menjadi dua:
a.    Menipu adalah dosa
b.    Karena (menipu) marugikan orang lain
Kalimat a merupakan kesimpulan sedangkan kalimat b adalah premis minor (karena bersifat khusus). Maka silogisme dapat disusun:
My :
Mn : menipu merugikan orang lain
K : menipu adalah dosa
Dalam kalimat diatas, premis yang dihilangkan adalah premis mayor. Untuk melngkapinya kita harus ingat bahwa premis mayor selalu bersifat lebih umum, jadi tidak mungkin subjeknya “menipu”. Kita dapat menalar kembali dan menemukan premis mayornya: Perbuatan yang merugikan orang lain adalah dosa.
    Untuk mengubah entimen menjadi silogisme, mula-mula kita cari dulu kesimpulannya. Kata-kata yang menandakan kesimpulan ialah kata-kata seperti jadi, maka, karena itu, dengan demikian, dan sebagainya. Kalau sudah, kita temukan apa premis yang dihilangkan.
Contoh lain:
Pada malam hari tidak ada matahari, jadi tidak mungkin terjadi proses fotosontesis. Bagaimana bentuk silogismenya?
    My : Proses fotosintesis memerlukan sinar matahari
    Mn : Pada malam hari tidak ada matahari
    K : Pada malam hari tidak mungkin ada fotosintesis
Sebaiknya, kita juga dapat mengubah silogisme ke dalam entimen, yaitu dengan menghilangkan salah satu premisnya.
    My : Anak-anak yang berumur di atas sebelas tahun telah mampu berfikir formal
    Mn : Siswa kelas VI di Indonesia telah berumur lebih dari sebelas tahun
    K : Siswa kelas VI di Indonesia telah mampu berfikir formal
    Kalau dihilangkan premis mayornya entimennya akan berbunyi “Siswa kelas VI di Indonesia telah berumur lebih dari sebelas tahun, jadi mereka mampu berfikir formal”. Atau dapat juga “Anak-anak kelas VI di Indonesia telah mampu berfikir formal karena mereka telah berumur lebih dari sebelas tahun”. Kalau dihilangkan premis minornya menjadi “Anak-anak yang berumur di atas sebelas tahun telah mampu berfikir formal, karena itu, siswa kelas VI telah mampu berfikir formal”.

 
Sumber : Akhaadiah, Subarti, dkk. Pembinaan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1990.

No comments:

Post a Comment